TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Botani Kunyit Kunyit merupakan tanaman obat yang bersifat tahunan (perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar di sekitar hutan atau bekas kebun. Kunyit merupakan tumbuhan semak yang tumbuh berumpun-rumpun, mempunyai susunan tubuh yang terdiri dari akar, batang semu, rimpang, terdiri dari kumpulan ltelopak atau pelepah daun yang berpautan, daun tangkai bunga, dan kuntum bunga (Rukrnana 1994). Tumbuhan ini tidak berbulu, batangilya pendelc, bunganya putih pucat dan kuning, daunnya berjumbai, mempunyai daun pelindung berwarila putih bergaris hijau dan diujuilgnya merah jambu, sedangkan yang terletalc di bagian bawah berwarna hijau muda, serta pelepah daunnya menlbentuk batang semu (Purseglove et al. 1981). Kunyit dikenal sebagai Curcunza loizgga Linn, karena naina tersebut sudah dipakai untuk jenis rempah-rempah lainnya, inaka tahun 1918 diganti menjadi Curczrma donzestica oleh Valantin (Purseglove et al. 1981). Kata curcuma berasal dari bahasa Arab yaitu kz~rkz~m dan bahasa Yunani kaalkoin. Pada tahun 77-78 SM, Dioscarides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus yang menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, sedikit pedas dan tidalc beracun. Tananan ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia khususnya Jawa (Darwis et al. 1991). Tanaman kunyit termasuk kingdom Plantae, divisi Spealinatoplyta, sub divisi Angiosperi1zae, kelas Monoco@ledonae, ordo Zingiberales, falnili Zingiberaceae, genus Cz~rcunza, spesies Curcunza doi~zesticaValet (Rukmana 1994).
Sifat Fisifc dan I
Gambar 1. Tanaman dan Rimpang kunyit (Sumber: h@://www..sadaJcom/images/turmeric.gz~ Kunyit merupakan jenis temu-temuan yang mengandung senyawa aktif diantaranya minyak atsiri dan kurkuminoid. Mimyak atsiri tersebut mengandung senyawa-senyawa k i i i a seskuiterpen alkohol, tumeron dan zingiberen sedangkan kurktunimoid mengandung senyawa kurkumii dan turunannya berwarna b i g yang meliputi desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Di samping itu rimpang kunyit juga mengandung pati atau amilum, gom dan getah, sedangkan yang memberikan aroma harum dan rasa khas pada umbinya adalah minyak atsiri (Thomas 1989). Komposisi kimia kunyit dapat diliiat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi K i i a Kunyit Komponen
Jumlah (%)
Kadar air
6.0
Protein
8.0
Karbohidrat
63.0
Serat kasar
7.0
Bahan mineral
6.8
Mmyak volatil
3.0
Kurkumin
3.0
Bahan non volatil
9.0
Sumber :Natarajan dan Lewis (1980)
Peranan Rirnpang Kunyit
Bagian kunyit yang sering dimanfaatkan adalah rimpangnya, untuk antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, obat salcit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo, memar dan rematik. Kurltuminoid
pada kunyit berkhasiat
sebagai antihepatotoksik,
anthelmintik, antiedemik, analgesik. Zat aktif lain dari kunyit yaitu lturkumin dapat berfuilgsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan. Kurkumin juga berkhasiat mematikan kuman dan menghilangkan rasa kelnbung karena dinding empedu dirangsang lebih giat untuk mengeluarkan cairan pemecah lemak. Millyak atsiri pada kuilyit dapat bermanfaat untuk mengurangi gerakan usus yang kuat sehingga manlpu meugobati diare. Selain itu, juga bisa digunakan ultuk ~neredakatlbatuk dan autikejang (Sumiati dan Adnyana 2004). Salep yang dibuat dari campuran lcutlyit dellgall nmillyak kelapa banyak digunakan untuk menyembuhkan kaki bengkak dan untuk mengeluarkan cairan penyebab bengkak. Salep dari kunyit detlgan asam kawak juga digunakan untuk pengobatail kaki luka. Kunyit yang diremas-remas dengan biji ceugkeh dan melati digutlakail u~ltulcobat radang hati, dan penyakit kulit. Sementara akar kunyit yang diremas-remas dapat digunalcan sebagai obat luar peuyakit bengkak dan reunatik (Sumiati dan Adilyaila 2004). Beherapa penelitian secara in vitro dan in vivo meuunjukan bahwa kunyit mempunyai aktivitas sebagai antiinflarnasi (anti peradangan), aktivitas terhadap peptic tllcel; antitoksik, antihiperlipiden~ia,dan aktivitas anti kailker. Pada tikus, jus lcunyit atau serbulc yang diberikail secara oral tidak menghasilkan efek a~~tiinflamasi (anti peradangan), hanya injeksi iiltraperitoneal (Ice organ dalain perut) yang efektif. Ekstrak kurkumin juga dapat mencegah kerusakan hati pada tikus, mencegah hepatoksisitas dan kerusakan sel, menuruilkaii semua komposisi lipid (trigliserida, fosfolipida dail kolestrol) dall mencegah lcanker usus (Sumiati dan Adnyana 2004).
Zat Alctif Rimpang Kunyit Alkaloid Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang bersifat basa (Anonim
2008a). Menurut Hidayat (2008) alkaloid merupalcail seilyawa basa nitrogen asal
tumbuhan yang bersifat fisiologi altif. Alkaloid hagi tumbuhan b e r h g s i sebagai senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga dan herbivora, produk akllir reaksi detoksifikasi senyawa-senyawa yang berbahaya bagi tumbuhan, reg~~lator faktor peitumbuhan dan sebagai senyawa cadangan untuk sumber nitrogen atau elemen lain yang berguna bagi tumbuhan. Allcaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1987). Alkaloid berfungsi sebagai anti de~nam (anti piretikum), anti cacing (anthelmintikum), obat atau zat pemulih (analeptiltum): anti parasit (anti plasmodium), anti radang (antiinflamasi), anti batuk (antitusif), insektisida, narkotikum, merangsang sistem saraf pusat (stimulansia), memacu keluarnya
keriugat
(diaphoretic),
merangsang
muntah
(emetikum),
dan
merangsang keluarnya urin (Anonim 2008a). Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa yang larut dala~n air. Flavonoid ~nengandung siste~n aro~natik yang terkonjugasi, umulnnya terdapat pada turnbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Se~nua flavonoid inenurut strukturnya merupakan turunan senyawa iuduk flavon yang berupa tepung putih dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang salna (Harborne 1987). Flavonoid
berfungsi
menurunltan
permeabilitas
kapiler
sehingga
perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusaltan ltapiler dapat diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Flavonoid bekerja dengall membentuk sumbat tro~nbositdan ~neinperbaikiendotel vaskuler sehingga dapat ~nenutuprobekan ltecil pada pembuluh darall (Evans 1989).
Polifenol dan Tanin Polifenol ~nerupakan kelonlpok bahan kilnia yang ditemukan pada tananan yang ~nemililtikarakteristilt mengandung lebih dari satu kelompok fen01 per molekul. Secara umum sub divisi polifenol terdiri atas tanin dan phenylpropanoid seperti lignin dan flavanoid (Hollmann 2005).
Tanin pada tumbuhan sub divisi angiospermae terdapat khusus dalam jaringall kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah lculit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung-silang protein. Salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemalcan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987).
Saponin Saponin adalah deterjen alami yang ditemukan pada banyak tanaman yang memiliki bahan surfaktan karena mengandung lemak dan air yang mudah larut. Komponen strulctur saponin terdiri dari gula-gula hexose dengan sejumlah atom karbon, hidrogen dan oksigen. Keberadaan saponin dapat dicirikan dengan rasa yang pahit, pe~nbentukbusa yang stabil pada larutan cair (busa berbentuk sarang lebah pada air) dan mampu membentuk lnolekul dengan kolestrol (Cheeke 1999). Selain itu, saponin juga mempunyai kemampuan membunuh kulnan (Anonim 2008b).
Icuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempuyai kromofor dasx seperti lcromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus 1cal"oonil yang berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Warna pigmen kuinon di
slam beragam, mulai dari kuning pucat sampai hampir hitanl, dan struktur yang telah dikenal jumlahnya lebih dari 450. Untuk tujuan identifikasi kuinon dapat dibagi menjadi enlpat kelompok: benzokuinon, naftolcuinon, antraltuinon, dan kuinon isoprenoid. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida h u t sedikit dalaln air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalan leinak dan akan terekstraksi dari ekstrak tumnbuhan kasar bersama-sama dengan karotenoid dan ltlorofil (Harborne 1987). Senyawa kuinon mempunyai kemampuan sebagai antibiotik dan penghilang rasa sakit seita merangsang pertumbuhan sel baru pada lculit (Anonin1 2008b).
Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan kandungan aktif dari simplisia menggunakan cairan penyaring yang cocok. Metode ekstraksi antara lain perendaman (nzaserasi), perkolnsi, digesti, infusi dan dekoksi. Hal-ha1 yang harus diperhatikan dala~nproses ekstraksi adalah jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan dan perhitungan dosis pemakaian (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat Farmakope Indonesia (biasanya terpotong-potong atau diserbuk-kasarlca~~),disatukan dengan bahan ekstraksi. Deposisi tersebut disimpal dan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dilcatalisis cahaya ataupun perubahan warna) kemudian dikocok kembali. Waktu maserasi adalah berbeda-beda, setiap Farmakope mencantumkan 4-10 hari dengan dilaltultan pengocokan secara berulang (kira-kira tiga kali sehari). Melalui usaha ini dijamin suatu keseilnbangan konsentrasi bahan ekstralcsi yang lebih cepat lte dalam cairan (DepKes RI 1995). Keadaan dia~nselama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight 1994). Cara ekstraksi yang tepat secara alarni tergantung pada telcstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang dieltstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harbome 1987). Ekstraksi juga sangat bergantung pada jenis d a l komposisi dari cairan pengeltstraksi. Untuk memperoleh sediaan obat yang cocok umumnya berlalcu canpuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight 1994).
Salep Salep merupakan sediaan setengah padat yang digunakan sebagai obat luar pada membran mukosa/lculit. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. Fungsi salep antara lain sebagai sutbstansi obat untulc pengobatan lalit (pembawa), pelunlas pada lalit, mencegah kontak permulcaan kulit dengan rangsangan dari luar (Wientarsih dan Prasetyo 2006).
Syarat-syarat dasar salep antara lain harus stabil secara fisik maupun kimia, warna dan bau harus stabil selama penyimpanan da11 pemakaian, dapat dicampurlcan dengan semua obat, halus dan licin sehingga mudah dioleskan pada kulit, daya kerjanya sama baik untuk kulit kering maupun berlemak, tidak mengiritasi kulit, tidak mudah tengik, dan mudah dipakai atau dioleskan (Wientarsih dan Prasetyo 2006). Voight (1994) ~nenjelaskanbahwa salep yang mengandung cairan dalain jumlah besar harus dilindungi terhadap pengenceran cairan jika wadah tidak terjanlin kerapata~mya.Ini dilakukan dengan menutup menggunakan folia logam atau plastik atau bahan lain yang cocok. Menurut Ansel (1989) salep biasanya dikemas, baik dalam botol atau dalan tube. Botol dapat dibuat dari gelas tidak berwarna, warna hijau, biru atau burain dan porselen putih. Botol plastik juga dapat digunakan. Wadah dari gelas b u a m dan berwarna berguna untulc salep yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Kebanyakan salep harus disimpan pada temperatur di bawah 30°C untuk mencegah pelembekan dan cairnya salep. Preparat setengah padat seperti salep, sering memerlukan penambahan pengawet kimia sebagai anti miluoba, pada for~nulasi untuk mencegah pertumbuhan miluoorganisme yang mengkontaminasi. Salep dibuat dengan dua ~netode umum yaitu: pencampuran dan peleburan, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Metode untuk pembuatan tertentu, teruta~na tergantung pada
sifat-sifat bahannya. Dalan metode
pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama sampai diperoleh sediaan yang rata (Ansel 1989).
Mencit (Mus I I I L I S C I ~ ~ U S ) Hewan yang akan digunakau pada penelitian ini adalah ~nencit laboratoriuin Mus nzusculzrs (Gambar 2). Klasifikasi mencit laboratoriuin me~n~rut Arrington (1972) adalah sebagai berikut ; Kingdom
: Animalia
Filunl
: Chordata
Kelas
: Ma~nmalia
Ordo
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Mus
Spesies
:Mus musculus
Mencit sering digunakan sebagai hewan model dalam berbagai kegiatan penelitan. Hewan ini mudah didapat, mudah dikembangbiakkan dan harganya relatif murah, ukurannya kecil sehingga mudah ditangani, jumlah anak perperanakannya banyak.
Sebagaimana makhluk hidup
lainnya selama
pertumbuhan dan perkembangannya mencit tidak dapat lepas dari pengaruh berbagai faktor lingkungan hidupnya. Mencit laboratorium adalah hewan yang semarga dengan mencit liar atau mencit nunah/domestic. Semua galur mencit laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peteniakan selektif. Mencit diielompokkan dalam order rodentia karena memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti pahat dan dapat menajam dengan sendirinya. Genus Mus memiliki empat bentuk morfotipe yang sudah dikenal sebagai spesies tertentu yaitu Mus musculus, Mus domesticus, Mus castaneus, dan Mus bactrianus, maupun sebagai sub spesies dari MIISmusculus yaitu Mus n~usculusdometicus Perm 1999).
Mencit laboratorium mempunyai berat badan yang hampir sama dengan mencit liar. Saat ini terdapat berbagai warna bulu, galur, dan berat badan yang berbeda-beda setelah diternakkan secara selektif selama 80 tahun yang lalu (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Banyak strain berbeda dari mencit laboratorium yang
telah dikembangkan oleh ahli genetik. Beberapa strain seperti Swiss Webster dikembangkan secara outbreed, sementara beberapa strain lain seperti DDY, Balblc, DBA, dan 3 6 diiembangkan secara inbred dengan geu-gen yang homozigot (Penn 1999).
Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya dan aktif pada malam hari. Mencit yang dipelihara sendiri, makannya lebih sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang, dan kadang-kadang mempunyai sifat kanibal (Penn 1999). Mencit memiliki lama hidup sekitar satu hingga dua tahun, baldcan beberapa bisa mencapai usia tiga tahun dengan lama produksi ekonomisnya adalah sembilan bulan. Mencit mencapai usia dewasa pada 35 hari dimana setelah usia delapan minggu sudah dapat dikawinkan. Lama kebuntingal mencit adalah 19-21 hari dengall jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram. Mencit laboratorium dapat dilcandangkan pada kotak sebesar kotak sepatu yang dapat terbuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau polikarbonat), aluminium, atau baja tahan karat (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Selanjutnya data dasar fisiologis mencit dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Data dasar fisiologis pada mencit. Karakteristik Berat Dewasa Jantan Betina Berat lahir Masa kebuntinga~~ Mata membuka Masa hidup Suhu tubuh Konsumsi pakan Konsumsi air Kardiovaskuler Frekuensi jantung Rataan Kisaran Rataan sistole Rataau diastole Frekuensi pernapasan Rataan Kisaran Hemoglobin Rataa~l Kisara~~ Hematokrit Eritrosit Rataan Kisaran Leukosit Rataan Kisaran
Sumber: Arrington (1972)
Nilai 20-40 gr 18-35 gr 1.0-1.5 gr 18-2 1 hr 12-13 hr 1-2 th 37.4 O C 4-5 grI100 gr BBIhr 4-7 m1/100 gr BBIhr 600 detaklrnnt 328-780 detaklmnt 113 mmHg 81 mmHg 163 Imnt 84-230 /mnt 14.8 gr% 10-19 gr% 41.5 % 9.3 x 10'lpL 7.7-12.5 x lo6 I ~ L 8 x lo3 IpL 4-12x 1 0 ~ 1 ~ ~
Darah Darah merupakan media cair yang terdiri dari komponen selular yaitu selsel darah dan komponen cairan yang kaya akan protein yaitu plasma darah (Schalm et al. 1975). Menurut Stainer dan Forsling (1990) kandungan cairan tubuh pada hewan veitebrata sekitar 65% dari total bobot badannya, yang dibagi ~nenjadicairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Pada hewan yang ineiniliki siste~nvaskuler tei-tutup, seluruh cairan tubuh didistribusikau di antara dua kompai-temen cairan
tersebut.
Cairan
ekstraseluler
terdiri
dari
cairan
ekstravaskuler dan cairan intravaskuler. Cairan ekstravaslculer terdiri dari cairan interstisial yang inerupalcan tiga perempat cairan ekstraseluler dan cairan intravaskuler yang terdiri dari plasma darah (Guyton dan Hall 1997). Cairan ekstraseluler ini pada mamalia dewasa jumlahnya sekitar 45% dari jumlah total cairan tubuh dan sisanya 55% adalah intraseluler (Stainer dan Forsling 1990). Menurut Ganong (1999) darab ~nerupakancairan ekstraseluler yang berada dala~nvaslculer (intravaskuler). Fungsi darah adalah menyuplai setiap sel dengan air yang diperlulcan, oksigen, elektrolit, nutrisi, dan transpol-tasi horinon serta menerima sisa buangan metabolisme untuk ditransport ke organ selwesi (Schalm
et al. 1975). Selain itu menurut Banlcs (1986) fungsi darah yang laiu adalah sebagai alat pertahanan tubuh melalui sel-sel pertahanan dan inaterial penghalang (ailtibodi, antitoksin, dll). Darah pada hewan dengan sirkulasi tertutup terdiri atas sel-sel darah dan cairan @lasina) yang mengisi sirkulasi dan yang mengalir dalam gerak teratur tanpa arah yang didorong terutama lcontralcsi ritmik jantung (Junqueira d m Carneiro 1980). Plasma darah ~nengandungzat-zat yang penting dalam proses digesti (asam amino, glukosa, gliserol, d m asam lemak terbang), produk buangan nitroge~l (urea, asain urat, 1u.eatinin) dari metabolisme, hormon, antibodi, karbondioksida, garam anorganik, dan protein plasma seperti albumin, globulin, dan fibrinogen (Van Tyne dan Berger 1975). Menurut Rapaport (1987), sel-sel darah terdiri dari tiga macan yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (troinbosit). Jika contoh darah dibiarkan atau disentrifuse, ~nakaaka11 terjadi pemisahau mei~jadi dua bagiail yaitu eleinen seluler yang terdiri dari eritrosit, leukosit, troinbosit, dan
kadang-kadang sel misterius dari Reticulo Endotelial System (RES) dan plasma atau fraksi ekstraseluler yang mengandung air, elektrolit, glukosa, enzim, dan hormon (Phillis 1976). Perubahan fisiologis pada tubuh hewan merupalcan faktor yang dapat me~npengaruhi ganlbaran darah. Perubahan fisiologis internal antara lain pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, proses produlcsi darah, siklus estrus, suhu tubuh, sedangkan perubahan fisiologis eksternal antara lain infeksi kuman penyalcit, fralct~lra, perubahan suhu linglc~mgan, sanitasi dan sebagainya (Banks 1986).
Eritrosit Eritrosit merupakan sel yang tidak berinti dan bersifat non motil. Eritrosit biasanya berbentulc bilconlcaf, bulat dengan bagian tengah yang pucat. Komposisi eritrosit pada hewan dewasa terdiri dari 62-72% air, sisanya hampir 35% adalah padatan, 95% dari padatan adalah hemoglobin dan sisanya 5% adalah protein yang terdapat pada strolna dan membran sel, lipid, vitamin, glukosa, enzim dan lain-lainnya (Swenson 1984). Jumlah eritrosit pada mencit berkisar antara 7,7-12.5 jutalpl (Arrington 1972). Faktor yang dapat mempengaruhi jurnlah eritosit antara lain adalah rute pengambilan darah sampel. Faktor lain yang mempengaruhinya
adalah
lconsentrasi hemoglobin, Packed Cell Volume (PCV), umur, jenis lcelamin, kesehatan, olahraga, laktasi, kebuntingan, suhu, dan ketinggian (Swenson 1984). Jangka hidup eritrosit pada beberapa hewan laboratoris kecil bel-turut-turut sekitar 45-50,45-50, dan 20-30 hari pada kelinci, tikus, dan mencit. Pada keadaan anemia defisiensi zat besi, dimana eritrosit menjadi berukuran kecil, mungkin dapat diperkirakan bahwa jangka hidupnya diperpanjang karena sel yang lebih muda memililci ukuran lebih besar dibandingkan sel tua. Sebaliknya, anemia tipe mikrositik terjadi karena sel-sel darah muda yang tidalc dilepaskan ke dalam darah yang bersirkulasi dalam jumlah yang cukup untuk menggantilcan sel-sel yang telah mati (Swenson 1984).
Leul~osit Leukosit atau sel darah putih merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 1997). Leukosit memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit yang bersirkulasi dalam tubuh, terdapat enam jenis sel darah putih yang normal dalam darah yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, limfosit, dan sel plasma. Limfosit dan monosit dibentuk di jaringau limfatik dan limfonodus, tonsil, limpa, timus, dan mukosa usus. Granulosit dibentuk di sumsum tulang. Janglca hidup dari leukosit belum diketahui secara pasti, namun sekitar 3-12 hari untuk leukosit granular dan sedikit lebih lama untuk limfosit (Williams 1987). Selain itu terdapat tron~bositdalam jumlah besar yang merupakan fragn~enjenis ke-7 dari sel darah putih yang dite~nukandalanl sumsum tulang, nzegnkariosit. Tiga jenis sel polimorfonuklear me~nilikipenanlpilan granular, oleh sebab itu merelta dinamakan granulosit, atau dalam terminologi klinik sering dinamakan "polys" (Lichtman 1980). Jumlah sel darah putih tertentu dapat nleningkat karena berbagai ha1 seperti pada infeksi bakteri, jumlah leukosit khususnya meningkat tajam, sebaliknya pada infeksi viral jumlah neutrofil menurun tajanl (leukopenia). Leukopenia dapat juga dite~nuibersa~nadengan endotoksin bakteri, septicenzia dan toxenzia, sedangkan pada kasus tumor (neoplasma) yang nlelibatkan system limpatik, jumlah limfosit dalam aliran darah meningkat dengan perubahan rasio dari eritrosit dengan leukosit (Swenson 1984). Hemoglobin Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa oksigen dala~nsel darah merah. Pembentukan hemoglobin di~nulaidari eritroblas pada stadium retilculosit keinudian diteruskan samnpai sel eritrosit matang. Jika sel darah mesa11 meninggalkan sumsuln tulang dan masuk ke aliran darah maka aka1 tetap melanjutkau pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau sesudahnya (Schalm et al. 1975). Hemoglobin terbentuk dari gabungan 2 komponen yaitu heme dan globin. Heme mengandung protoporphin dan ion ~ e yang ~ +disintesis oleh mitokondria (Schalm et al. 1975) dan dari beberapa penyelidikan dengan menggunaltan isotop
diketahui bahwa heme terutama disintesis dari asam asetat dan glisin yang kebanyakan terjadi di mitolcondria (Guyton 1995). Kandungan zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami kerusakan, akan segera menuju ke hati, kemudian akan dipergunakan kembali untt~k pembentukan hemoglobin baru (Ganong 2002). Globin adalah suatu peptida yang didapatkan dari pembentukan hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma sel darah merah (Schalm et al. 1975). Sifat dasar hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen tetapi jika ada gangguan akan merubah sifat-sifat fisik hemoglobin (Guyton 1995). Berat molekulnya 64.450 dalton yang berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit. Hemoglobin inengiltat 0 2 untuk membentuk oksihemoglobin, terhadap
0 2
0 2
menempel pada ~ e dalam ~ + heme. Afinitas hemoglobin
dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3 difosfogliserat (2,3-
DPG) dalanl sel darah merah (Lorenz 1993). 2,3-DPG dan dengan
0 2
Hi berkompetisi
untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa oksigen (hemoglobin
terdeoksi), sehingga menuiunkan afinitas hemoglobin terhadap
dengan
0 2
menggeser 4 rantai peptida (Ganong 2002). Faltor lain yang menyebabkan afinitas hemoglobin terhadap
rendah
0 2
adalah susunan asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida. Pada henloglobin dewasa mempunyai bentulc rantai polipeptida komponen hemoglobin yang mempunyai afinitas
0 2
a202
yang merupakan
yang tinggi, akan tetapi
rantai polipeptida a ~ y 2pada janin lebih tiuggi. Sedangkan pada embrio yang mempunyai rantai <2c2afinitas terhadap 0 2 rendah (Ganong 2002). Hemoglobin terdapat kira-kira 95% dari berat kering RBC dewasa dail variasi dalam rangkaian asanl amino pada globin untuk mernbedakan tipe hemoglobin antara embrional, fetus dan dewasa (Banks 1986). Hemoglobin dewasa normal adalah 90% hemoglobin A (Hgb A) yang terdiri dari 2 rantai polipeptida yang disebut rantai n dan
dan diberi kode
~ $ 2 (Guyton
1995).
Henloglobin embrio dilcenal deagan I~ernoglobintipe E (Okabe et al. 1996). Hemoglobin E mengandung polipeptida dengan rantai
5
dan rantai
E,
yang
membentulc globin gower 1 (12~2) dan globin gower 2 (~12~2).Sedanglcan hemoglobin fetus dikenal dengan hemoglobin tipe F yang masih dapat terkandung dalam darah hewan yang baru lahir dan me~nilikistruktur yang mirip dengan
struktur hemoglobin A, kecuali bahwa rantai P-nya diganti dengan rantai y sehingga hemoglobin F adalah azyz (Ganong 1999). Hemoglobin mempunyai nilai yang berbeda pada berbagai tingkat perturnbullan, perbedaan ini terdapat pada komposisi asam amino, kurva disosiasi oksigen, dan kelarutan spektrum absorbsi ultraviolet. Jumlah hemoglobin pada darah normal pada kebanyakan mamalia dewasa 13-15 g r d 1 0 0 ml (Guyton 1995). IIematokrit Hematokit atau Packed Cell Volunze (PCV) adalah presentase sel darah merah di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Eritrosit berpengaruh terhadap viskositas darah yaitu semakin ineinbesar persentasi sel darah ~nerahsemakin banyak timbul gesekan antar lapisan darah sehingga viskositas darah meningkat yang berakibat pada derajat kesultaran aliran darah ymg melalui pembuluh darah kecil (Guyton 1995). Pemeriltsaan total hematokrit tubuh di vena atau banyaknya hematokrit pada pembuluh darah, menunjukkan bahwa limpa memainkan peran dalam menlpengaruhi sirkulasi sel darah merah. Rasio total hematokit darah dengan hematokrit vena lebih besar ketika limpa mengalami gangguan (Schalm et al. 1975). Darah dalam pembuluh darah yang kecil dalan tubuh secara nyata menu~unkan nilai hematokrit dibandingkan dengan darah yang berasal dari jantung atau pembuluh darah (Banks 1986). Persembuhan Lulta Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh yang sebisa mungkin memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal tubuh sebelumnya (Vegad 1995). Proses perse~llbuhanbukanlah suatu proses yang sedel-hana inelainka~l suatu proses yang kompleks nanlun terintegrasi dan sisteinatik (Engelhardt el al. 1998; Kalangi 2004). Proses biologis utalna dalam perbaikan jaringan secara umunl meliputi tiga tahap utama yaitu proses peradangan, pembelltukan jaringan grailulasi, dan pembentukan matriks serta
remodelilzg (Kalangi 2004). Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase persembuhan lulta yang lebih dikenal dengan fase peradangan, fase proliferasi, dan fase maturasi (Banks 1993). Persembuhan luka dibagi meujadi dua macanl berdasarltan lteadaan lulta yang terjadi, yaitu persembuhan berdasar penyatuan primer (prinzary union) dan persembuhan
berdasar
penyatuan
sekunder
(secondary
union).
Suatu
persembuhan luka dapat digolongkan menjadi penyatuan luka primer apabila luka tertutup, lnengaltibatkan hilangnya sejumlah kecil jaringan, lulta berupa suatu garis insisi dengan scalpel yang steril, tidak disertai infeksi sekunder oleh bakteri, dan celah luka segera ditutupi oleh darah beku. Persembuhau berdasar penyatuan luka sekunder ditandai dengan luka yang terbulta dan mengalarni kerusakan atau hilangilya jaringan dalam jumlah besar. Selain itu, luka terinfeksi oleh bakteri, banyak pembuluh darah yang terkoyak, serta dapat ditemui jaringan yang mengalami nekrosis dan peradangan di daerah luka (Vegad 1995).
Fase Peradangan Peradangan adalah suatu realtsi dari jaringan hidup yang dialiri darah terhadap perlultaau lokal. Terjadinya peradangan pada suatu area lokal dapat menyebabkan beberapa perubahan baik pada tingkat vascular maupun pada tingkat selular. Perubahan yang terjadi pada tingltat vascular adalah perubahan pada pembuluh darah, perubahan pada aliran darah, perubahan pada pergerakan atau arus darah dalanl pelnbuluh, eksudasi plasma darah, emigrasi dari leukosit, dan diapedesis dari eritrosit. Perubahan pada tingkat selular berupa peningkatan aktivitas leukosit. Aktivitas leukosit ini merupakan suatu aktivitas yang berkelanjutan dan terdiri dari inarginasi, adesi, emigrasi, fagositosis, dan pelepasan produk-produk leukosit ke jaringan eltstraselular (Vegad 1995). Sesaat
setelah
terjadi
perlukaau,
pembuluh
darah
mengala~ni
vasokonstriltsi yaug singkat. Icontraksi buluh darah ini segera diikuti oleh vasodilatasi pada arteriol yang akan menyebabkan pembukaan mikrovaskular baru seperti vena, arteriol kecil, dan pernbuluh kapiler (Vegad 1995). Dilatasi pembuluh darah ini disebabkan oleh substansi kinlia yang disebut sebagai
mediator inflamasi. Kondisi ini mengakibatkan hiperemi dan peningkatan aliran darah pada daerah yang meradang. Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang segera diikuti oleh melanlbatnya sirkulasi darah. Darah yang mengalir lambat dalam mikrovaskular dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh tersebut. Dinding endotel menjadi permeable terhadap protein plasma dan mengakibatkan protein plasma yang terdiri dari albumin, globulin, datl fibrinogen keluar lte jaringan interstisial. Hal ini menyebabkan tekanan osnzotic intravasculav lnenurun dan tekanan osnzotic cairan interstisial meningkat. Akibatnya, cairan plasma darah keluar dari pembuluh dan terakunlulasi di jaringan interstisial. Kondisi ini disebut sebagai udema peradangan ltarena pada saat ini luka akan terlihat basah. Mediator lcimia seperti histamin dan bradikinin turut meinbantu pelepasan cairan plasma darah dengan membuka hubungan antar sel endotel (Vegad 1995). Hubungan antar sel endotel ini menjauh akibat efek inflamasi yang menyebabkan kontraksi pada endotel. Pada fase peradangan, platelet alcan teraktivasi untult membentuk benang-benang fibrin yang akan mengheniikan hemoragi pada matriks ekstraselular akibat pembuluh darah yang terkoyak pada saat perlukaan (Anonim 2003). Selain itu, sel mast juga menghasilkan heparin yang ~nerupakanzat pengkoagulasi darah. Darah dalam pembuluh dapat mengalami stasis dimana aliran darah sudah terhambat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh meningkatnya pembuluh kapiler baru yang dialiri darah pada daerah luka. Darah yang melewati pembuluh kapiler ini berjalan dellgall sangat lambat, akibatnya darah yang bersirkulasi akan terhambat. Selain itu, protein plasma yang telah keluar dari penlbuluh darah menyebabkan peningkatan konsentrasi benda-henda darah dimana viskositas darah akan meniilgkat dan aliramlya akan terhambat (Vegad 1995). Pergerakan atau arus aliran darah dalanl pe~nbuluhmembagi peinbuluh lnenjadi dua zona. Pada bagian tengah lumen pembuluh, pergeraltan darah ditunjang oleh suatu gaya sentripetal. Bagian ini disebut sebagai alirall aksial dan terdiri dari elenlen-elemen seluler seperti eritrosit dan leukosit. Bagian eksternal dari zona tersebut langsung terhubung dengan dinding endotel dan terdiri dari plasma. Zona ini disebut aliran plasmatilc. Ketilta aliran darah melanlbat, leukosit
keluar dari zona aksial karena gaya sentripetal zona tersebut tergantikan oleh suatu gaya sentrifugal (Vegad 1995). Leukosit akan mengalani marginasi dan berdiam diri pada dinding endotel. Marginasi leulcosit ini semakin menghambat aliral darah sehingga akan terjadi pembendungan, eritrosit yang tertumpuk akan membentuk suatu susunan bentuk yang disebut rouleaux yang berukuran besar serta lnendominasi area aksial pembuluh sehingga leukosit alcan terdorong ke daerah perifer pembuluh darah. Leukosit yang terakumulasi pada dinding endotel akan melalcukan etnigrasi atau lceluar dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Leukosit keluar dari pembuluh darah melalui celah antara dinding endotel. Sel darah merah juga dapat keluar dari pembuluh darah, tidak seperti leukosit, eritrosit tidak melniliki kelnampuan untuk bergerak sendiri dan pergerakan eritrosit tersebut berupa gerak pasif akibat dorongan dari tekanan intravaskular yang menurun karena keluarnya leulcosit dari pembuluh tersebut. Terjadinya luka juga mengindulcsi pelepasan beberapa substansi kilnia yang bertindak sebagai mediator dalam perubahan-perubaha~yailg terjadi pada sisteln vascular di daerah luka tersebut (Vegad 1995). Beriltut ini adalah beberapa mediator inflamasi yang mempengarulli proses peradangan dan persembuhan luka. Histamin Histamin merupakan salah satu mediator peradangan yang berfungsi sebagai inedia pada proses dilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Senyawa ini tersinlpan dalaln granul pada sel mast, basofil, dan platelet. Histamin menyebabkan kontraksi pada dinding endotel dan menyebablcan melebarnya celah yalg menghubungkan sel-sel endotel. Pelepasan senyawa ini (degranulasi sel mast) dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti trauula atau dingin, reaksi imunologik, suatu fraksi dari lcolnplen~e~~ yang disebut sebagai anaphjdatoxins, dan adanya lzistanzine-releasing factor yang dilceluarkan oleh neutrofil (Vegad 1995). Selain histainin, substansi yang bertindalc sebagai mediator inflamasi lainnya adalah serotonin. Senyawa ini juga dihasilkan oleh sel
mast namun hanya terdapat pada tikus dan n~encit(Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Enzim-enzim lisosom Sel neutrofil dan monosit mengandung butir-butir lisosom yang akan dilepaskan pada saat terjadi proses peradangan. Neutrofil memiliki dua macam butir yang terbentuk dalam waktu yang tidak bersamaan pada sitoplasmanya. Butir yang terbentuk lebih awal yaitu butir azurophil atau disebut juga butir primer (Dellmann & Brown 1988). Butir primer ini memiliki kandungan senyawa yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, memicu kemotaksis, dan menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat (Banks 1993). Faktor pengalctifasi platelet (Platelet Activating Factor-PAF) Platelet akan mengalami agregasi da11 melepaslcan kandungannya jika dipicu oleh faktor pengaktifasi ini. PAF memiliki petensi yang lebih hebat dari histamin dalam ha1 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah (Vegad 1995). Faktor pengaktifasi platelet ini juga dapat menyebabkan adesi sel leukosit pada dinding endotel dan proses kemotaksis. Selain platelet, PAF ini juga dapat disekresi oleh sel-sel lain seperti basofil, neutrofil, monosit, dan sel endotelial. Sitokin Sitokin dapat diproduksi oleh banyak sel, terutama oleh sel limfosit dan mo~losityang telah teralttivasi. Sitokin yang dihasilkan oleh sel limfosit diltenal dengan llama limfolcin, sementara sitokin yang dibentulc oleh moilosit disebut monokin. Tiga jenis sitokin yang memiliki peranan penting dalam proses peradangan adalah interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan interleukin-8 (IL-8) (Vegad 1995). Menurut Vegad, IL-1, TNF,dan IL-8 diselcresi oleh makrofag yang teralttivasi dan dstimulasi oleh beberapa faltor, salah satunya adalah perlukaan fisik. IL-1 dan TNF berfungsi dalam merangsang perlekatan atau adesi sel-sel leukosit pada dinding endotel. TNF memiliki pengaruh yang sama dengan IL-8 dala~nproses peradangan, yaitu menyebabkan agregasi dan alctivasi dari neutrofil pada jaringall 1~1kahanya saja IL-8 merupakan chen~onrtracta~~t dan aktivator neutrofil yang lebih kuat. IL -8 juga menstiinulasi proses inigrasi dan proliferasi keratinosit secara langsung (Engelhardt et a1 1998). Selain itu,
Engelhardt et a1 juga menyatakan bahwa IL-8 juga memiliki peran dalam peningkatan angiogenesis di daerah luka. Setelah leulcosit lceluar dari dinding endotel, sel-sel tersebut bergeralc menuju jaringan yang terluka mengikuti suatu kekuatan yang merangsangnya yang disebut kemotaksis. Ken~otalcsis dikatakan sebagai suatu migrasi yang terarah dari sel-sel menuju suatu senyawa penarik atau attractant (Vegad 1995). Leukosit bermigrasi pada jaringan ikat menuju daerah luka melalui suatu gradien kimia. Menuut Kalangi 2004, terdapat molekul-molekul struktural pada matriks ekstrasel yang kemungkcinan dapat mendorong migrasi melalui sel radang. Molelcul-molelcul ini mendorng migrasi melalui penyediaan suatu substratum (fibronektin dan kolagen) yang dapat menjadi pedoman kontak bagi sel radang untukbergerak ke arah chemoattractant. Proses pengambilan partikulat ke dalam sitoplasma oleh suatu sel disebut sebagai proses fagositosis (Vegad 1995). Sel-sel leukosit yang telah tiba di daerah luka akan segera membunuh dan menghancurkan material asing (bakteri) dan selsel
yang
rusak
pengidentifikasian
dengan sel
cara
leukosit
fagositosis. terhadap
Fagositosis
materi
yang
diawali akan
dengan difagosit.
Pengidentifikasian ini dimungkinlcan bila materi tersebut telah dilapisi ole11 suatu faktor serum atau antibodi spesifik yang disebut sebagai opsonin dan proses ini disebut sebagai opsonisasi (Vegad 1995). Setelah permukaan leukosit menempel dengan partikel yang teropsonisasi, sitoplasma leukosit @seudopodia) akan memanjang dan mengelilingi materi hingga membentuk vakuol atau rongga yang mengelilingi materi dan disebut fagosom. Proses ini disebut engulfment atau penelanan. Setelah ~nateiterkurung dalam valc~~ol leukosit, ~nakaterjadi proses degradasi atau penghancuran materi tersebut dengan enzi~nhidrolitik pada organel lisosom sel leukosit. Fagososm dengan materi di dalamnya yang sudah terpapar dengan lisosom disebut fagolisosom. Proses peradangan mencalup perelautan sel-sel radang dari pembuluh darah menuju jaringan lulca. Kedatangan sel-sel ini ke daerah luka atas pengaruh beberapa mediator peradangan yang telah dijelaskan sebelumnya. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah neutrofil, makrofag, dan limfosit.
Neutrofil Neutrofil adalah sel leukosit yang berdiameter antara 10 sampai 12 pm, memiliki butir halus, dan ini bergelambir (Dellmann & Brown 1988). Sel ini juga disebut dengan le~kositpolimorfonuklear atau sel granulosit. Butir-butir granul yang terdapat pada sitoplasma neutrofil adalah lisosom yang mengandung enzim yaug memungkinkan neutrofil untuk mengha~curkan bakteri melalui proses fagositosis (Vegad 1995). Neutrofil merupakan leukosit yang tiba paling awal di lokasi terjadinya peradai~gan.Oleh karena itu disebut sebagai pertahanan selular pertama. Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa llelcrosa sel inang). neutrofil akan segera mati. Makro fag Makrofag yang berada di jaringan berasal dari sel monosit darah yang bermigrasi ke jaringall illtat (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Jumlah sel monosit darah pada me~lcitberkisar antara 1-12 % dari total leukosit (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Namun, apabila terjadi peradangal, jumlah monosit yang bermigrasi ke jaringan ikat menjadi berlipat-lipat dan maluofag yang telah ada di jaringan ikat alean teraktivasi. Makrofag ini mulai bermunculan setelah neutrofil menyelesailcan tugasnya untuk memfagosit partilcel asing. Faktor yang meinpengaruhi kemunculan makrofag antara lain adalah suatu chen~oattractnnt yaitu monocyte chemoattractant protein-l (MCP) d a ~macrophage initiating
protein-la atau MIP-la (Engelhardt 1998). Seperti neutrofil, makrofag adalah sel yang efelctif untulc proses fagositosis. Makrofag mencerna dan memfagosit organisme patogen dan debris jaringan termasuk sel-sel neutrofil yang tidalc berguna lagi (Kalangi 2004). Untuk memungkinlcan fungsi tersebut, sel makrofag dilengkapi dengan kandungan enzim-enzim hidrolitik dalarn jumlah sangat besar dimana enzim-enzim tersebut dapat mendegradasi beragan jenis material secara berula~~g-ulang(Vegad 1995). Selain memfagosit, makrofag yang aktif juga melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaslcan inalcrofag yaitu : Plasma protein, terdiri dari protein komplemen dalam proses fagositosis dan protein pengkoagulasi
Mediator lipida sepel-ti hasil metabolisme asam aralcidonat (leultotrien dan prostaglandin) serta Platelet Activating Factor (PAF) Faktor-faktor kemotaktik Sitokin, seperti interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan interleukin-8 (IL-8) Faktor-faktor pertumbuhan seperti platelet-derived growth j21ctor (PDGF), fibroblast growth factor
(FGF), epidermal growth factor
(EGF), dan
transforming growth factor-P (TGF-P). Faktor-faktor ini mempengaruhi proliferasi fibroblast dan pembuluh darah. Limfosit Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan hanya memiliki kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari selsel radang lainnya. Beberapa limfokin yang dihasilkan adalah MAF atau macrophage aggregatingfrrctor, d m MCF atau nzacrophage chemolactic facfor. (Banks 1993). MAF merangsang agregasi dari maluofag, sedangkan MCF berfungsi sebagai chemoattractant bagi makrofag.
Fase proliferasi Fase proliferasi meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel, dan sel-sel fibroblast. Fibroblast, sel-sel radang, dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses reepitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka. Lapisan hemidesmosom ailtara epidermis dengan membran dasar akan menipis dan memungkinkan sel epitel yang telah aktif untuk bermigrasi ke jaringan luka dan mengeluarkan sitolcin seperti IL-1, TNF, TGF-a, dan TGF-P (Anonim 2003). Untuk memfasilitasi migrasinya pada jaringan ikat, sel epitel mengeluarltan enzini kolagenase (Singer & Clark 1999). Sel-sel endotel berproliferasi mulai dari ujung pembuluh yang terkoyak hingga terbentuk suatu pembuluh kapiler baru (Banks 1993). Pembentukan pembuluh darah baru tersebut dapat berupa pemanjangan maupun percabangan
dari pembuluh darah induk menjadi pembuluh darah kecil (kapiler). Proses ini dikenal dengan istilah angiogenesis. Pembentultan suatu peinbuluh darah baru memerlukan degradasi enzimatik dari membran dasar pembuluh induk agar pembentukan cabang pembuluh anak dapat terjadi. Selain itu, juga terjadi migrasi, proliferasi, serta pematangan sel-sel endotel untuk membentuk suatu pembuluh kapiler baru (Vegad 1995). Setelah terbentuk, kapiler-ltapiler bar^^ yang terbentnk akan beranastomose sehiilgga altan terjadi perltembangan sirkulasi di daerah luka (Kalangi 2004). Faktor yang mempengaruhi angiogenesis ini antara lainfibroblast growth factor (FGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang dihasilkan oleh makrofag. Dalam ha1 ini, FGF lebih banyak berperan daripada VEGF, yaitu dengan menginduksi sekresi proteinase ole11 sel endotel untuk inendegradasi membran dasar serta memicu migrasi dan proliferasi endotel (Vegad 1995). Fibroblast bermigrasi lte daerah luka dan be~proliferasi. Prolifersai fibroblast ini dipicu ole11 beberapa faktor pertumbuhan (growth firctor) seperti, plcrtelet-derived growth factor (PDGF), epidernzal growth factor (EGF),fibroblast qowth factor (FGF), dan kansforming growth factor-p (TGF-P), serta sitokin fibrogenik yang dihasilkan oleh makrofag (Vegad 1995; Anoniln 2003). Sel fibroblast secara aktif mensintesis proteogliltan dan ltolagen. Fibroblast berproliferasi membentuk matriks ekstraseluler yang mengandung lnyofilamel~ dan disebut myofibroblast dimana matrilts ini akan bennigrasi ke area luka dan berltontraksi untuk mengmangi ukuran luka hingga daerah luka altan tertutup (Anonim 2003).
Fase pematangan Fase ini ditandai dengan berkurangnya jumlah fibroblast secara berkala dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh kapiler. Serabut kolagen mengalmi pertalnbahan jumlah dan menyusun diri sepanjang garis lebar luka. Secara berangsur-angsur, luka meningltatkan lcelcuata~lintegritasnya terhadap tekanan. Pada fase ini matriks eltstraseluler sementara yang telah terbentuk pada fase sebelumnya digantiltan oleh matriks kolagen dermis (Anonim 2003). Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahuli.
Falttor-falttor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu nutrisi, ltadar vitamin C, mineral zinc (Zn) dan glukokortikosteroid dalam tubuh, usia, partikel iritan lokal, kurangnya suplai darah, keberadaan benda asing dan faktor-faktor nleltanis (Vegad 1995). Nutrisi yang tidak seimbang terutama kurangnya konsumsi protein (asam amino) dapat menyebabltan keltuatan regangan jaringan iltat akan melemah. Sel-sel fibroblast yang terbentuk hanya sediltit dan sintesis serabut kolagen akan terhambat. Kekurangan vitamin C akan mengakibatkan serabut kolagen yang disintesis oleh fibroblast menjadi lebih sedikit dan mengalami penurunan ltualitas. Zinc adalah mineral yang diperiultan untuk inetabolisme beberapa enzim yang penting untuk persembuhan luka. Pada individu yang kekurangan zinc, persembuhan luka akan memakan waktu lebih lama. Persembuhan luka pada individu yang berusia tua akan memakan waktu lebih lama jilta dibandingltan dengan individu yang masih muda. Hal ini terkait dengan suplai darah individu muda yang lebih bailt dan adanya ltemungkinan penyakit seperti aterosltlerosis pada individu tua. Glul~olcortiltosteroidmemiliki pengaruh pada proses inflamasi dan fibroplasia. Keberadaannya dalam jumlah besar dapat menginduksi perubahan kimia pada matriks substansi dasar jaringan iltat. Keberadaannya di jaringan dapat mengurangi produksi kolagen dan pembentultan neokapiler. Infiltrasi bakteri, debri-debri dari sel yang nekrosis. nanah dan benda asing dapat menyebabkan infeksi jaringan dan penundaan persembuhan luka. Kurangnya suplai darah jaringan dapat dipengaruhi oleh adanya gangguan dalam sistem sirkulasi seperti adanya penyakit pada pembuluh arteri.